Belakangan tiap kali aku mengambil sandal dari masjid,
aku mendapati semua sandal para jamaah sudah tersusun rapi. Susunan itu searah
dengan jamaah masjid yang akan pulang.
Pemilik sandal tinggal memakainya
tanpa perlu membalikan badan.
Awalnya aku bertanya dalam hati, “Siapa gerangan orang
yang melakukannya? Orang itu berpikir tentang kebaikan untuk orang lain.”
Sebenarnya aku anggap susunan sandal menghadap kemana
itu tidaklah penting. Aku ingin hal yang mudah. Aku datang ke masjid, melepas
sandal, dan shalat. Itulah yang penting. Aku tidak ingin mempermasalahkan
tentang arah sandal mau dikemanakan?
Kalau sandal itu tidak disusun seperti itu, aku harus membalikkan badan. Aku
sudah biasa melakukannya. Dan aku tidak keberatan. Apalagi di dalam Islam tidak
ada aturan baku bagaimana cara menaruh sandal yang benar. Jadi menurutku, itu
bukanlah hal yang penting-penting amat.
Suatu saat aku mengetahui siapa orang yang menyusun
sandal-sandal itu. Namanya Pak Ferri. Orangnya sudah tua. Aku menilai, usianya
di atas 50an tahun. Dia pernah bercerita bahwa ia berasal dari sebuah kota di
Sulawesi. Bahkan dia pernah menegurku. Waktu aku baru datang ke masjid, aku
diminta untuk memposisikan sandalku seperti yang ia maksud.
Karena tidak enak, akhirnya aku menuruti
permintaannya. Aku mengubah arah dari sandalku dari biasanya. Tetapi lain hari,
aku tidak melakukannya. Aku tetap pada kebiasaanku yang lama. Aku meletakkan
sandalku di pelataran masjid. Saat pulang aku harus membalikkan badanku.
Seperti biasanya.
Aku tidak melihat tingkat kepentingan, atau keuntungan
dengan susunan sandal. Karena itu berbulan-bulan aku tidak menghiraukan
sarannya.
Namun suatu ketika aku berubah pikiran. Orang ini
maksudnya juga baik. Ia ingin sandalnya para jamaah masjid disusun yang rapi.
Karena itu sesekali aku menaruh sandalku seperti yang ia maksudkan. Tujuanku
untuk menyenangkan Pak Ferry itu, bahwa nasehatnya sudah aku lakukan. Dengan
konskuensi aku harus membuat tambahan gerakan baru dari kebiasaanku. Aku harus membalikkan badan di awal sebelum
masuk masjid.
Aku juga menganggap ini sebagai toleransi antar
sesama. Aku tidak ingin terjadi konflik dengannya hanya karena urusan kecil---
“sandal” seharga Rp20ribu. Kami hampir bertemu setiap hari. Meski kami jarang
bicara. Tidak tahu kenapa. Rasanya sulit untuk menciptakan kesempatan untuk
bicara.
Belakangan aku menemukan beberapa hal positif tentang
susunan sandal itu seharusnya menghadap kemana. Dalam jumlah jamaah yang banyak
itu sangat penting. Para jamaah yang keluar dari masjid biasanya bersamaan.
Karena itu besar kemungkinan terjadi kekacauan. Masing-masing jamaah berlomba
ingin segera menemukan sandalnya.
Tetapi itu menjadi tidak begitu penting jika jumlah
jamaahnya hanya beberapa orang. Mungkin pentingnya hanya susunan sandal itu
terlihat rapi. Untuk keindahan. Enak dipandang. Tetapi siapa orang yang mau
melihat pemandangan ‘susunan sandal yang rapi’? Aku mengira tidak ada orang
yang mau menikmati pemandangan itu.
Aku menuliskan cerita ‘SANDAL’ ini untuk
menghormati Pak Ferri...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar