Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Almarhum Pepeng adalah sosok yang inspiratif. Dalam
keadaan sakit parah pun, dia masih sanggup menjadi inspirasi.
Ketika sakit parah, ia sempat protes pada Tuhan. Why
me? Kenapa saya diperlakukan begini? Kenapa saya yang duji dengan ujian
ini? Pepeng menemukan jawaban Tuhan. Singkat saja: Why not?
Kalau kita percaya pada Tuhan yang maha kuasa,
pertanyaan atau protes kita itu menjadi konyol. Karena Tuhan maha kuasa, jadi, ya
suka-suka Dia. Kenapa saya? Kenapa tidak? Kenapa kita merasa harus
diistimewakan oleh Tuhan?
Tapi apa sebenarnya ujian yang sering kita ratapi?
Hidup itu seperti berjalan menembus hujan. Siapapun yang berjalan menembus
hujan, akan diterpa air hujan. Tanpa kecuali. Jadi, tidak ada yang berhak
mengeluh ketika terkena air. Kalau tidak mau terkena air, jangan berjalan
menempuh hujan. Artinya, jangan hidup, mati saja.
Apakah hujan itu petaka, atau sebenarnya rahmat? Itu
hanya soal mind set kita. Hujan itu petaka atau rahmat, itu hanya soal
bagaimana cara kita melihatnya.
Bagi orang yang menganggap basah itu masalah, maka
hujan itu adalah petaka. Orang yang sedang haus, cukup membuka mulutnya, maka
ia mendapatkan minuman.
Yang menganggap basah itu masalah, bisa memilih untuk
memakai payung atau berteduh. Kalaupun akhirnya dia terpaksa basah karena tidak
jalan untuk menghindar, apa boleh buat. Toh, basah itu tidak membunuhnya.
Begitulah. Kadang kita lupa, bahwa ujian terbesar
dalam hidup itu kematian. Itu satu-satunya ujian yang kita tidak mongkin lolos.
Di luar itu, kalau apapun yang kita hadapi itu kita anggap ujian, maka tak ada
satu pun ujian yang kita tidak bisa melewatinya.
Sekali lagi, rahmat atau musibah itu semata soal mind
set kita saja. Kita sebut rahmat kalau akibat sesaatnya adalah sesuatu yang
kita sukai. Sebaliknya, kita anggap itu musibah, karena kita tidak menyukainya.
Andaikan Anda tiba-tiba mendapat uang 10 milyar rupiah
hari ini, Anda tentu menganggapnya rahmat. Tapi sekali lagi, uang itu rahmat
atau bukan, tergantung pada cara Anda bersikap. Sama seperti Anda bersikap
terhadap curahan air hujan tadi. Dengan uang itu di tangan, Anda mungkin akan
lupa daratan. Itu mungkin akan jadi pangkal kehancuran Anda dan keluarga Anda. Who
knows? Kelak Anda akan sadari bahwa yang tadinya Anda kira rahmat, ternyata
menjadi laknat.
Sebaliknya, kalau Anda hari ini sakit demam berdarah,
Anda akan menganggapnya musibah. Lagi-lagi, musibah atau rahmat, itu ada pada
pikiran Anda. Kalau Anda bersikap positif, Anda berobat, lalu sembuh.
Tubuh Anda akan jadi lebih kuat. Anda akan lebih
hati-hati menjaga kesehatan. Akhirnya, penyakit tadi menjadi rahmat. Mengeluh,
meratap, mungkin akan membuat penyakit makin parah. Tidak hanya fisik yang
sakit, jiwa pun menjadi sakit.
Jadi sekali lagi, hidup itu ibarat berjalan menembus
hujan. Jangan merasa istimewa kalau Anda basah. Biasa saja. Karena semua orang
juga basah. Jangan merasa istimewa ketika sedang menghadapi sesuatu yang tidak
menyenangkan, lalu mendongak ke atas dan bertanya, “Why me?” Karena Tuhan akan
dengan enteng menjawabnya, “Why not?”
Pertanyaan yang lebih tepat pada saat itu adalah, “Apa
yang perlu saya lakukan sekarang?”
Sumber:
http://edukasi.kompas.com/read/2016/03/29/06270071/Why.Me.Why.Not.
Tulisan
Hasanudin Abdurakhman lain bisa dibaca juga di http://abdurakhman.com
Catatan
Tambahan: Jangan Bunuh Diri
Dari
Jundub bin Abdullah, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda: “Dahulu ada seorang laki-laki
dari umat sebelum kalian mengalami luka parah pada tubuhnya. Namun ia tidak
sabar menahan rasa sakitnya. Maka ia mengambil sebilah pisau, lalu mengiris
tangannya dengan pisau tersebut. Darah
pun tidak berhenti mengalir darinya hingga ia mati. Allah ta’aala berfirman: ‘Hamba-Ku
mendahului-Ku dengan menyegerakan kematiannya, maka Aku mengharamkan Surga
atasnya.” (HR. Bukhari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar