Orang
tua saya adalah seorang petani di desa. Suatu saat ibu saya mengeluh tentang
mahalnya harga pupuk pada masa tanam. Sekarang sulit
untuk mendapatkan pupuk di pasaran, lain dengan masa dahulu. Namun jika masa panen tiba, harga padi di pasaran terlalu murah. Ibu saya
menyalahkan pemerintah yang tidak bisa
mengendalikan ketersediaaan dan kestabilan harga pupuk. Pemerintah juga
kesulitan untuk menjaga kestabilan harga beras. Ibu saya berharap bahwa harga
padi atau beras itu mahal, agar kami para petani untungnya banyak.
Ibu
saya mengatakan, “Menjadi petani sekarang susah, tidak ada untungnya.” Saya tahu
bahwa hampir semua petani juga mengatakan hal yang demikian. Mereka para petani
merasa rugi, dan sulit mendapatkan keuntungan. Ibu saya mengeluhkan tentang hal
ini berkali-kali. Saat itu saya hanya diam. Saya tidak tahu apa yang harus
saya katakan.
Suatu
hari ibu saya mengeluh lagi tentang hal yang sama. Lalu saya terinspirasi untuk
mengatakan, “Ibu, saya juga berharap bahwa pupuk itu mudah didapatkan. Saya juga
berharap harga pupuk itu murah. Saya berharap harga padi itu setinggi mungkin.
Dengan begitu kita para petani bisa mendapatkan banyak keuntungan.
Tetapi
coba ibu pikirkan lagi. Sekarang manusia semakin bertambah banyak.
Masing-masing orang ingin mendapatkan banyak keuntungan (uang). Karena itu ada
sebagian dari kita yang berbuat curang. Meski pemerintah sudah berupaya untuk
menjamin tersedianya harga pupuk murah, tetapi orang-orang tertentu berniat sebaliknya.
Mereka berharap harga pupuk itu tinggi, dengan demikian mereka mendapat untung
besar.”
Saya masih menambahkan, “Ibu, anak-anak dan cucu-cucumu sekarang tinggal di kota.
Mereka tidak punya sawah untuk menanam padi. Tetapi mereka setiap hari membutuhkan
beras untuk dimakan. Jika harga beras itu mahal, mereka pasti sedih. Mereka
selalu berharap bahwa harga beras itu murah. Dengan begitu mereka lebih banyak
menghemat uang tiap hari. Sisa uangnya bisa digunakan untuk kebutuhan yang
lain. Ada banyak kebutuhan yang harus dipenuhi anak-anak dan cucu-cucumu tiap
hari. Apalagi ibu sekarang kan sudah tua dan pasti sudah penuh dengan
pengalaman hidup. Ibu juga bukan seorang yang kekurangan. Apa yang bapak miliki
saat ini sudah cukup untuk menyambung hidup kalian. Sudah saatnya bagi ibu untuk
mengurangi keinginan (kesenangan) keduniaan, tetapi lebih banyak ibadah untuk
akherat. Apalagi kebutuhan ibu juga tidak banyak. Ibu lebih suka tinggal di
rumah dan mengurus pekerjaan rumah tiap hari. Ibu lebih suka mendengar berita RRI
dan melihat berita TVRI sebagai hiburan daripada ngrumpi sama tetangga. Ibu tidak suka baju
baru atau memakai perhiasan. Ibu lebih suka memakai baju bekas anak-anakmu
sendiri. Ibu juga tidak suka jalan-jalan
untuk wisata ke kota. Ibu tidak lagi butuh kesenangan lain seperti anak muda
jaman sekarang.”
Setelah
penjelasan saya tadi ibu saya mengerti. Sekarang ia tidak banyak mengeluh lagi jika sulit
mendapatkan pupuk atau ketika harga pupuk mahal. Ibu juga tidak banyak mengeluh
jika harga beras murah. Ibu saya juga tidak menyalahkan pemerintah lagi. Sebenarnya masalah negara ini terlalu besar dan terlalu rumit. Pemerintah sangat
sulit untuk membuat keputusan yang benar dan menguntungkan banyak orang.
Demikan
juga bagi saya. Saya merasa tidak mampu dalam memikirkan masalah ini. Masalah ini
terlalu besar bagi saya untuk dicarikan solusi terbaiknya. Seperti yang baru saja
saya katakan pada Pak Subur selepas shalat Dhuhur tadi: “Mungkin yang bisa kita
lakukan hanyalah berdoa kepada Tuhan. Kita masih beruntung, negara kita tidak
dilanda peperangan seperti di Suriah-Timur Tengah atau konflik di
Rohingya-Myanmar. Jika hal itu terjadi, lalu kita akan mengungsi kemana....?”
Penulis:
Sri Widodo ST; Rumah di Jl. Sawo 4, Rawa Mangun, Jakarta Timur; Minggu, 3 Maret
2016;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar