Oleh Gede Prama
Paradoks, itulah judul yang diberikan
terhadap kecenderungan kekinian dalam kehidupan. John Naisbitt adalah salah
satu tokoh yang berkontribusi besar terhadap populernya terminologi paradoks.
Fundamental dalam
pikiran orang-orang seperti Naisbitt, bila ada kecenderungan yang keluar dari
rel akal sehat, dengan mudah masuk ke kotak paradoks. Sebagian dari manusia
yang memberi judul paradoks kemudian kecewa, sebagian lagi malah bertumbuh
justru karena paradoks. Tulisan ini berharap, mudah-mudahan lebih banyak
sahabat yang dibuat bertumbuh oleh paradoks-paradoks berikut. Tidak menjadi niat
tulisan ini agar paradoks-paradoks berikut menjadi awal permusuhan dan
kecurigaan baru.
Sebagian paradoks
yang layak dicermati adalah apa yang terjadi di Bali, India, Tibet, sampai
Timur Tengah. Bali, sebagaimana dikomunikasikan dalam waktu lama oleh industri
pariwisata, adalah pulau kedamaian. Namun, di sini juga ribuan manusia dibantai
karena judul komunis di tahun 1965. Di sini juga dua bom teroris meraung-raung
memakan banyak jiwa manusia. Di sini juga sebuah kota terbakar karena Calon
Presiden yang didukung tidak terpilih di tahun 1999. Di Bali juga terjadi orang
yang sudah meninggal pun masih dihalangi agar pulang secara damai.
India juga serupa.
Di sini lahir dua agama dunia (Hindu dan Buddha), di sini juga terlahir tokoh-tokoh
spiritual yang besar dan mengagumkan, dari Mahatma Gandhi, Ramakrishna, Svami
Vivekananda, 0sho, Ramana Maharsi, sampai Buddha Gautama, Atisha, dan Acharya
Shantidewa. Namun, di sini juga kebencian memacu permusuhan terus-menerus
sehingga sahabat Hindu dengan sahabat Islam belum mengakhiri secara tuntas
permusuhannya. Persoalan perbatasan masih memanas. Sejumlah tempat ibadah masih
dijaga aparat.
Tibet adalah atap
dunia. Seperti kepalanya Bumi. Dengan demikian, mudah dimengerti di sini lahir
banyak sastra kehidupan yang mengagumkan (salah satu contohnya The Tibetian
Book of the Dead). Namun, di sini juga kesedihan berumur teramat panjang. Dari
pemimpinnya Dalai Lama sudah di pengasingan selama puluhan tahun, nasib rakyat
Tibet yang penuh dengan tangisan. Dan belum ada tanda-tanda kuat kalau negeri
suci ini akan mengalami perubahan.
Timur Tengah juga serupa. Di sini dua agama
dunia (Islam dan Nasrani) pernah lahir. Namun, di sini juga mesin-mesin senjata
meraung-raung terus memakan korban-korban manusia tidak berdaya.
Israel dan
Palestina belum menunjukkan tanda-tanda berdamai dalam jangka panjang.
Belakangan malah semakin menyedihkan. Dengan demikian, dalam totalitas, mudah
dimengerti kalau Naisbitt pernah membaca sebuah kecenderungan mendunia: ‘religion
no, spirituality yes’. Agama tidak, spiritualitas ya. Ini mirip dengan
pengalaman seorang remaja Indonesia yang pernah kuliah di Melbourne, Australia.
Suatu kali dalam kelas yang besar jumlah mahasiswanya, dosennya bertanya: Any
one of you who have religion? Siapakah yang memiliki agama di kelas ini? Dan
yang menaikkan tangan hanya segelintir orang. Namun, mahasiswa yang tidak
menaikkan tangannya kalau meminjam pensil tidak lupa mengembalikan. Bila
bertemu ibu-ibu dosen membawa beban buku agak berat, mereka cepat memberikan
pertolongan. Bila antre di mana pun sangat disiplin. Tatkala bertemu sahabat
lain tersenyum sambil mengucapkan selamat pagi. Bila ada teman dalam kesulitan,
refleknya bekerja amat cepat untuk membantu. Bila masuk pintu lift atau pintu
kereta api mendahulukan orang tua. Karena itu, menimbulkan pertanyaan, apa
agama orang-orang ini? Mirip dengan sejumlah wisatawan mancanegara yang datang
ke Bali. Ketika ditanya apakah Anda Nasrani, ia hanya menjawab dengan senyuman
tidak bersuara. Namun, sopannya, ya ampun. Masuk rumah mengetuk pintu, lupa
dipersilakan duduk, kemudian bertanya: Boleh saya duduk? Bila tidak sependapat,
memulai dengan kata: ‘Maafkan kalau saya tidak sependapat’. Dan sejumlah sopan
santun yang menyentuh hati.
Ini juga yang
membuat sejumlah sahabat di dunia spiritual mulai bergeser: dari pengetahuan
spiritual menuju pencapaian spiritual. Belajar dari Buddha lengkap dengan welas
asihnya tentu baik. Membaca puisi-puisi sufi yang bertema cinta dan hanya cinta
tentu berguna. Kagum dengan doa Santo Fransiscus dari Asisi tentu bermakna.
Jatuh cinta sama Bhagawad Gita tentu sebuah pertumbuhan jiwa. Mendalami
kebijaksanaan-kebijaksanaan Confucius tentu saja bermanfaat.
Namun,
mengaktualisasikannya ke dalam pencapaian spiritual keseharian tentu memerlukan
upaya yang jauh lebih keras lagi. Banyak guru yang sepakat, jembatan terpenting
yang menghubungkan antara pengetahuan spiritual dan pencapaian spiritual adalah
latihan. Seperti menemukan keseimbangan bersepeda, hanya latihan yang paling
banyak membantu. Dan waktu serta tempatnya tersedia di mana-mana secara
berlimpah. Di rumah, tempat kerja, sekolah, jalan raya, tempat ibadah, sampai
lapangan sepak bola, semuanya bisa menjadi tempat-tempat menemukan pencapaian
spiritual.
Seperti kalimat
indah Kahlil Gibran: ‘Keseharian kita adalah tempat ibadah kita yang
sebenarnya’. Menyayangi istri/suami, mendidik putra/putri, mencintai orangtua,
menghormati tetangga, menghargai pendapat atau sikap yang berbeda, menghormati
atasan, menghargai jasa pemerintah, berterima kasih kepada tukang sapu atau
pembantu, dan bila mampu mencintai musuh adalah rangkaian pencapaian spiritual
keseharian yang mengagumkan. Pengetahuan spiritual memang kaya kata-kata.
Namun, pencapaian spiritual kaya akan pelaksanaan. Kagum dengan pencapaian
spiritual Dalai Lama, Richard Gere pernah bertanya kepada pemimpin spiritual
Tibet ini tentang agama yang sebenarnya dianut Dalai Lama dalam keseharian.
Dengan senyuman penuh di muka, Dalai Lama menjawab: Agama saya yang sebenarnya
adalah kebaikan. Ini mirip dengan cerita tentang mahasiswa Melbourne di depan
yang tidak menaikkan tangan ketika ditanya punya agama atau tidak. Namun, dalam
kesehariannya mereka rajin membantu, sekaligus jarang menyakiti. Sebagian dari
orang-orang ini sambil bergumam mengatakan: ‘Agama saya Cinta’.
**** Gede Prama Penulis 22 Buku; Bekerja di Jakarta; Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar