Gede Prama on 2006-07-03
Di
satu kesempatan, ada turis asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya
turis ini ketika masih hidup, sampai-sampai Tuhan memberikan kesempatan untuk
memilih : surga atau neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia, dan
sudah teramat sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik
surga maupun neraka. Ketika memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan
orang-orang baik lainnya yang semuanya duduk sepi sambil membaca kitab suci.
Di
neraka lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan
seksi lagi bernyanyi. Ada lapangan golf yang teramat indah. Singkat cerita,
neraka jauh lebih dipenuhi hiburan dibandingkan surga. Yakin dengan penglihatan
matanya, maka turis tadi memohon ke Tuhan untuk tinggal di neraka saja. Esok
harinya, betapa terkejutnya dia ketika sampai di neraka. Ada orang dibakar,
digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan lainnya. Maka proteslah dia
pada petugas neraka yang asli Indonesia ini. Dengan tenang petugas terakhir
menjawab : 'kemaren kan hari terakhir pesan kampanye pemilu". Dengan
jengkel turis tadi bergumam : 'dasar Indonesia, jangankan pemimpinnya, Tuhannya
saja tidak bisa dipercaya!'
Anda
memang tidak dilarang tersenyum asal jangan tersinggung karena ini hanya
lelucon. Namun cerita ini menunjukkan, betapa kepercayaan(trust) telah menjadi
komoditi yang demikian langka dan mahalnya di negeri tercinta ini.
Dan
sebagaimana kita tahu bersama, di masyarakat manapun di mana kepercayaan itu
mahal dan langka, maka usaha-usaha mencari jalan keluar amat dan teramat sulit.
Jangankan dalam komunitas besar seperti bangsa dan perusahaan dengan ribuan
tenaga kerja, dalam komunitas kecil berupa keluarga saja, kalau kepercayaan
tidak ada, maka semuanya jadi runyam. Pulang malam sedikit, berujung dengan adu
mulut. Berpakaian agak dandy sedikit mengundang cemburu.
Di
perusahaan malah lebih parah lagi. Ketidakpercayaan sudah menjadi kanker yang
demikian berbahaya. Krisis ekonomi dan konglomerasi bermula dari sini. Buruh
yang mogok dan mengambil jarak di mana-mana, juga diawali dari sini. Apa lagi
krisis perbankan yang memang secara institusional bertumpu pada satu-satunya
modal : trust capital. Bila Anda rajin membaca berita-berita politik, kita
dihadapkan pada siklus ketidakpercayaan yang lebih hebat lagi.
Polan
tidak percaya pada Bambang. Bambang membenci Ani. Ani kemudian berkelahi dengan
Polan. Inilah lingkaranketidakpercayaan yang sedang memperpanjang dan
memperparah krisis. Dalam lingkungan seperti itu, kalau kemudian muncul
kasus-kasus perburuhan seperti kasus hotel Shangrila di Jakarta yang tidak
berujung pangkal, ini tidaklah diproduksi oleh manajemen dan tenaga kerja
Shangrila saja. Kita semua sedang memproduksi diri seperti itu. Andaikan di
suatu pagi Anda bangun di pagi hari, membuka pintu depan rumah, eh ternyata di
depan pintu ada sekantong tahi sapi. Lengkap dengan pengirimnya : tetangga
depan rumah. Pertanyaan saya sederhana saja : Bagaimanakah reaksi Anda ? Saya
sudah menanyakan pertanyaan ini ke ribuan orang. Dan jawabannyapun amat
beragam. Yang jelas, mereka yang pikirannya negatif, 'seperti sentimen, benci,
dan sejenisnya', menempatkan tahi sapi
tadi sebagai awal dari permusuhan (bahkan mungkin peperangan) dengan tetangga depan rumah. Sebaliknya, mereka yang
melengkapi diri dengan pikiran-pikiran positif 'sabar,
tenang dan melihat segala sesuatunya dari segi baiknya' menempatkannya sebagai
awal persahabatan dengan tetangga depan rumah.
Bedanya amatlah sederhana, yang negatif melihat tahi sapi
sebagai kotoran yang menjengkelkan. Pemikir positif meletakkannya sebagai
hadiah pupuk untuk tanaman halaman rumah yang memerlukannya.
Kehidupan serupa
dengan tahi sapi. Ia tidak hadir lengkap dengan dimensi positif dan negatifnya. Tapi pikiranlah yang memproduksinya jadi demikian.
Penyelesaian persoalan manapun 'termasuk persoalan
perburuhan ala Shangrila' bisa cepat bisa lambat. Amat tergantung pada seberapa
banyak energi-energi positif hadir dan berkuasa
dalam pikiran kita. Cerita tentang tahi sapi
ini terdengar mudah dan indah, namun perkara menjadi
lain, setelah berhadapan dengan kenyataan lapangan yang teramat berbeda. Bahkan
pikiran sayapun tidak seratus persen dijamin
positif, kekuatan negatif kadang muncul di luar kesadaran. Ini mengingatkan saya akan pengandaian manusia yang
mirip dengan sepeda motor yang stang-nya hanya
berbelok ke kiri. Wanita yang terlalu sering disakiti laki-laki, stang-nya hanya akan melihat laki-laki dari
perspektif kebencian. Mereka yang lama bekerja di perusahaan
yang sering membohongi pekerjanya, selamanya melihat wajah pengusaha sebagai
penipu. Ini yang oleh banyak rekan psikolog disebut sebagai pengkondisian yang
mematikan.
Peperangan melawan
keterkondisian, mungkin itulah jenis peperangan yang
paling menentukan dalam memproduksi masa depan. Entah bagaimana pengalaman Anda, namun pengalaman saya hidup
bertahun-tahun di pinggir sungai mengajak saya untuk
merenung. Air laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air sungai.
Dan satu-satunya sebab yang membuatnya
demikian, karena laut berani merendah. Demikian
juga kehidupan saya bertutur. Dengan penuh rasa syukur ke Tuhan, saya telah mencapai banyak sekali hal dalam
kehidupan. Kalau uang dan jabatan ukurannya, saya
memang bukan orang hebat. Namun, kalau rasa syukur ukurannya, Tuhan tahu dalam klasifikasi manusia mana saya ini hidup. Dan semua
ini saya peroleh, lebih banyak karena keberanian
untuk merendah. Ada yang menyebut kehidupan
demikian seperti kaos kaki yang diinjak-injak orang.
Orang yang menyebut demikian hidupnya maju, dan sayapun melaju dengan kehidupan saya. Entah kebetulan entah tidak. Entah paham
entah tidak tentang pilosopi hidup saya seperti ini. Seorang
pengunjung web site saya mengutip Rabin Dranath Tagore : 'kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati.'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar