Gede Prama Penulis Sejumlah Buku, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara
Ketika
seorang guru ditanya evolusi jiwa manusia ratusan tahun terakhir, dengan diam
sebentar, menatap mata lalu menjawab, "dari gelap ke gelap". Dari
ketidakpuasan satu ke ketidakpuasan lain. Dari konflik satu ke konflik lain.
Melihat kehidupan bergerak begini, sejumlah orang desa yang polos bertanya,
Mengapa kemajuan iptek harus seperti ini? Maafkanlah keluguan. Andaikan
keluguan ini dijawab dengan data, angka, logika, mungkin sinyalemen "dari
gelap ke gelap" akan tambah panjang. Angka dilawan angka. Logika
mengundang serangan balik logika.
Karena
demikian keadaannya, izinkan sekali-sekali bukan angka, bukan logika yang
bicara, tetapi sepi sunyi. Tidak dalam posisi menyebut sepi benar, yang berbeda
salah. Sekali lagi tidak. Serupa dengan mulut manusia, gigi wujudnya keras
karena tugasnya memotong dan menghancurkan. Lidah bentuknya lembut karena
panggilan hidupnya bukan untuk menghancurkan, tetapi merasakan. Keduanya punya
tugas lain. Dengan spirit seperti inilah, sepi sunyi dalam tulisan ini mohon
izin bicara.
Sejak
dulu, pencinta sepi selalu tidak banyak. Orang yang bertapa di kesunyian selalu
lebih sedikit dibanding mereka yang mencari di keramaian. Keduanya bertumbuh.
orang-orang keramaian menyukai bertumbuh ke luar (dengan ukuran kekaguman
pujian orang), sedangkan pencinta kesunyian menyukai bertumbuh ke dalam.
Kekaguman
dan pujian orang dihindari karena penuh godaan ego. Melihat bulan dengan lampu
Satu contoh yang amat menerangi di jalan sunyi adalah pertapa suci Ramana
Maharshi. Sampai umur 16 tahun tidak ada tanda ia akan jadi pertapa. Begitu
berkenalan dengan perjalanan ke dalam diri, tiba-tiba badannya panas. Ini
membuatnya lari ke Bukit Arunachala. Lebih dari sekadarpanasnya menghilang, ia
menikmati kesunyian di tempat ini. Bahkan selama puluhan tahun menghabiskan
hidup yang sepenuhnya diam.
Saat
mengakhiri diamnya, Ramana menjawab pertanyaan orang secara mengagumkan hanya
dengan segelintir kata. Dari situ didirikan ashram oleh banyak pengikutnya di
sekitar tempat ia bertapa. Tiap kali ditanya siapa gurunya, ia menggeleng
sambil bergumam, "The ultimate consciousness is the only teacher"
(Kesadaran yang mahautama itulah gurunya).
Serupa
dengan ini, di sejumlah perenungan dengan judul agama yang berbeda-beda, banyak
murid diminta diam. Awalnya percakapan ke luar menghilang, diganti percakapan
ke dalam. Akhirnya percakapan ke dalam pun menghilang. Dan yang tersisa hanya
satu, yakni kesadaran. orang-orang yang sudah disinari cahaya kesadaran, akan
bergumam, untuk melihat bulan tidak memerlukan lampu! Kata-kata, logika, angka
mirip lampu luar. Manusia membutuhkan saat gelap. Namun, dalam terang cahaya
kesadaran, manusia tidak memerlukan lampu luar.
Salah
satu founding father kehidupan spiritual Bali (Dang Hyang Dwijendra) menulis Kakawin
Dharma Sunya. Ia bertutur, jika batin yang tenang-seimbang adalah sumber
keindahan. Bila sumber keindahan sudah di dalam, masihkah manusia memerlukan
lampu penerang dari luar? Dalam bahasa provokatif seorang guru,
"When you still have some one who can make you happy or sad, you are not a
master, you are a slave!" (Jika sumber kebahagiaan/kesedihan masih dari
luar, itu tandanya seseorang belum
menjadi master, masih jadi budak). Apresiasi
akan sepi memang bukan monopoli Bali. Lama Surya Das (Awakening the Buddha Within) pernah menulis bahwa puncak perjalanan
menemukan perkataan yang benar adalah hening. Eckhart
Tolle (Stillness Speaks) juga serupa, "wisdom comes with the ability to be
still. Just look and just listen... let
stillness direct your words and actions" (Kearifan datang dari keheningan.
Lihat dan dengar saja... biar keheningan yang
menjadi pembimbing). Thomas Merton (Thoughts in Solitude)
menambahkan, "My knowledge of myself in silence... Opens out into the
silence... of God" (Pengetahuan diri
dalam keheningan membuka rangkaian keheningan yang berujung pada Tuhan). J Krishnamurti (The Light in Oneself)
menyarankan, meditation is absolute silence of the mind
(meditasi adalah keadaan batin yang sepenuhnya hening).
Dainin Katagiri
(Returning to Silence) menulis, Shakyamuni is some one who practice tranquil silence (Siapa saja yang mempraktikkan kesempurnaan
keheningan, ia menjadi Buddha). Murid-murid Zen
yang perjalanannya suka menekuni latihan silent illumination. Penyair sufi Rumi bertumbuh jauh dalam sepi. Perhatikan salah satu
syairnya (The Rumi Collections): when you know your
own definition, flee from it, that you may attain to the 0ne who cannot be
defined (Saat Anda dipagari kata-kata,
cepat-cepatlah menjauh. Ia menghalangi mencapai yang Satu yang tidak terucapkan).
Dengan cerita ini,
terlihat banyak manusia yang terterangi rapi oleh sepi sunyi. Ia melewati banyak sekat tradisi. Dari Sufi, Nasrani, Buddha, sampai
Hindu. Jenis manusia-manusia ini memiliki pola pertumbuhan
serupa. Logika dan kata-kata ibarat kulit dan batok kelapa. Di awal manusia membutuhkan. Namun, begitu dikupas dan dibuka,
kelapa dimakan, airnya diminum, kulit dan batoknya dibuang. Mikhail Naimy (The
Book of Mirdad) lebih terang lagi. Kata, logika serupa tongkat, berguna bagi
mereka yang kakinya bermasalah. Bagi jiwa yang kakinya sehat, tongkat hanya
beban. Lebih-lebih jiwa yang bisa terbang, tongkat adalah beban berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar