Minggu, 07 September 2014

JEJAK-JEJAK MAKNA GEDE PRAMA


Seorang ibu mendekati Gede Prama, menyalam hangat dengan kedua tangannya dan berbisik pelan, "Terima kasih sekali, Anda telah membantu menyelamatkan anak kami." Prama mengangguk dalam, sedikit membungkukkan badan dan tersenyum. Matanya terpusat hanya pada perempuan setengah baya itu meski banyak orang lain menunggunya. Direktur Dynamic Consulting itu baru saja menyudahi penuturannya mengenai  “Membuka Pintu Kebahagiaan”, yang digelar dalam acara Plaza Inspirasi oleh 100,2 FeMale Radio dan Plaza Indonesia, di Jakarta, suatu petang, beberapa waktu lalu.

Waktu beberapa petang, suatu Jakarta, di Indonesia, Plaza dan Radio FeMale 100,2 oleh Inspirasi acara dalam digelar yang Kebahagiaan?, Pintu ? Membuka mengenai penuturannya menyudahi saja baru itu Consulting Dynamic Direktur menunggunya. Lain orang banyak meski baya setengah perempuan pada hanya terpusat. Matanya tersenyum. Badan membungkukkan sedikit dalam.

"Saya belum sempat menanyakan anaknya kenapa?" ujarnya. "Tetapi, kejadian seperti ini sering sekali terjadi." Bagi banyak orang yang mengandalkan hanya rasio dan memuja segala hal yang lazim dikatakan sebagai "kesuksesan" hidup, tema-tema ceramah Prama (40) dan buku-bukunya yang bertema spiritualitas mungkin akan membuat gerah. Tidak sedikit pula yang dengan sinis mengatakan, Prama menjadikan spiritualitas sebagai barang dagangan. "Banyak hal tidak bisa dijelaskan karena orang harus mengalaminya sendiri," katanya, datar. Keputusan Prama-yang mengantongi ijazah dari Universitas Lancaster, Inggris, dan INSEAD, Prancis- untuk meninggalkan segala yang serba mengikat dalam dunia kerja formal dan kemudian terbang bebas seperti elang tidak terjadi begitu saja. 

"Dalam kurun waktu tak lebih dari tiga tahun, saya ditinggalkan oleh tiga orang yang sangat saya cintai, yakni ibu dan bapak saya, lalu ibu mertua saya. Pada saat yang bersamaan, saya mendapat cobaan sangat berat di kantor," kenangnya. Perasaan kacau dan amarah terus bermunculan memenuhi hari-harinya.

"Semakin saya marah dan memberontak, semakin saya tenggelam dalam ketidakberdayaan. Saya juga tidak berhenti menyesali diri karena ayah saya sebenarnya ingin ketemu saya dua minggu sebelum ia meninggal, tetapi tidak bisa."

Sampai pada satu titik, ia tak mampu lagi berbuat apa pun, kecuali menerima semuanya sebagai sesuatu yang harus ia terima dengan mengatakan "Ya" pada Sang Pencipta. Mungkin itulah yang disebut sebagai "titik balik". "Aneh, tiba-tiba jalannya seperti dibukakan," ujarnya.

Dari peristiwa itu, Prama belajar memahami apa yang disebutnya sebagai keikhlasan, surrender. "Ada banyak peristiwa di mana logika dan pengetahuan lumpuh saat berhadapan dengan berbagai kerumitan hidup," tutur Prama. Rangkaian peristiwa itu ia sebut sebagai jejak makna, mengiringi jejak-jejak sebelumnya, yang ia temukan dari pengalaman masa kecilnya; dalam kehangatan pelukan sang ibu, dalam keterbukaan dan kasih sang ayah. Cinta yang penuh dari jejak makna masa kecilnya.

Banyak perubahan terjadi dalam hidupnya setelah itu. Selain karier yang baru, ia memasuki dunia sufi, yang disebutnya sebagai science of the inner; suatu pengetahuan yang sangat dalam mengenai segala sesuatu dalam kehidupan, tetapi mengalami pendangkalan ketika coba dijelasjelaskan secara logika.

Buku-buku bisnis yang mengisi rak-rak buku di rumahnya lalu digeser ke belakang. Rak di depan kemudian diisi oleh beragam buku, mulai dari Kahlil Gibran, fisikawan David Bohn, pemikir Krishnamurti, tokoh postmodern Michel Foucaut, penemu Aikido Morihei Ueshiba dan, tentu saja, Rumi, penyair sufi yang hidup di Persia Raya pada tahun 1200-an.

Cinta dan keikhlasan, yang diyakininya sebagai sumber kebahagiaan, menjadi tema dari banyak uraiannya sebagai pembicara publik. Tiga kata itu sangat sederhana, tetapi menjadi bersayap dan terbang entah ke mana sehingga sulit ditangkap manusia-manusia yang sibuk mengejar kekuasaan dan uang; dan karenanya tak punya kesadaran untuk menangkap keajaiban-keajaiban yang sebenarnya berlangsung setiap saat dalam hidup.

Hampir semua ceramah Prama berkisar di sekitar diri manusia dalam kaitannya dengan kehidupan yang serba tergesa dan serba menuntut; kehidupan yang dikendalikan oleh ambisi-ambisi manusia. Isi ceramahnya lantas seperti oase di padang gersang kota besar, yang meski sejenak, terasa menyegarkan. Akan tetapi, untuk mencernanya, orang harus "berhenti" sejenak.

Tidak mudah menangkap kalimat-kalimatnya yang metaforik, khususnya bagi orang-orang sibuk yang selalu ingin mendapatkan jawaban serba langsung. Petang itu, paling tidak, ia banyak menggunakan metafor "bayangan" untuk menjelaskan tentang kekhawatiran dan ketakutan manusia, tentang penerimaan diri, tentang emosi, kemarahan, kebencian, keirihatian, kedengkian, keculasan, dan berbagai sifat buruk yang dikatakannya sebagai "perampok" dalam diri manusia.

Gede Prama adalah sosok yang unik karena banyaknya sisi menarik dari dirinya. Identitasnya yang paling personal adalah sebagai anak bungsu dari 13 bersaudara, lahir di Bali tanggal 2 Maret 1963; sebagai suami dari seorang istri dan sebagai ayah dari tiga anak yang sudah beranjak dewasa. Prama menyebut dirinya sebagai gelandangan intelektual, tak hanya karena tidak berafiliasi dengan universitas mana pun, tetapi juga karena pikiran-pikirannya bebas dan liar, menggelandang kemana-mana, tanpa batas, tanpa tembok, tanpa garis pemisah.

Banyak orang berpendapat, keliaran inilah kekuatan yang membuat Prama didaulat oleh banyak perusahaan terkemuka, seperti IBM, HP, Citibank, Astra, Caltex, dan lain-lainnya, sebagai konsultan manajemen. Prama sendiri ingin mengabdikan dirinya untuk mengembangkan apa yang ia sebut sebagai unschooled management. Pengalaman hidup membuat Prama menjadi manusia yang amat sadar akan keterbatasannya dan karena itu pula ia takut menghakimi orang lain. Ia juga terus belajar merangkul dualisme kehidupan dengan kadar kemesraan yang sama. 

Ucapan Rumi, This world which is made of our love for emptiness, tampaknya ingin ia hayati lewat proses meditasinya sepanjang hidup. "Kalau kita bisa mencapai nol, kita akan menemukan dunia yang tak berhingga," ujarnya. Tetapi, bukankah tak ada proses yang selesai dalam hidup kecuali fisik yang menua? Begitu Gede Prama bergumam.... (Maria Hartiningsih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar