Seorang ibu
mendekati Gede Prama, menyalam hangat dengan kedua tangannya dan berbisik
pelan, "Terima kasih sekali, Anda telah membantu menyelamatkan anak
kami." Prama mengangguk dalam, sedikit membungkukkan badan dan tersenyum.
Matanya terpusat hanya pada perempuan setengah baya itu meski banyak orang lain
menunggunya. Direktur Dynamic Consulting itu baru saja menyudahi penuturannya
mengenai “Membuka Pintu Kebahagiaan”, yang digelar dalam acara Plaza
Inspirasi oleh 100,2 FeMale Radio dan Plaza Indonesia, di Jakarta, suatu
petang, beberapa waktu lalu.
Waktu beberapa
petang, suatu Jakarta, di Indonesia, Plaza dan Radio FeMale 100,2 oleh
Inspirasi acara dalam digelar yang Kebahagiaan?, Pintu ? Membuka mengenai
penuturannya menyudahi saja baru itu Consulting Dynamic Direktur menunggunya.
Lain orang banyak meski baya setengah perempuan pada hanya terpusat. Matanya
tersenyum. Badan membungkukkan sedikit dalam.
"Saya belum
sempat menanyakan anaknya kenapa?" ujarnya. "Tetapi, kejadian seperti
ini sering sekali terjadi." Bagi banyak orang yang mengandalkan hanya
rasio dan memuja segala hal yang lazim dikatakan sebagai "kesuksesan"
hidup, tema-tema ceramah Prama (40) dan buku-bukunya yang bertema spiritualitas
mungkin akan membuat gerah. Tidak sedikit pula yang dengan sinis mengatakan,
Prama menjadikan spiritualitas sebagai barang dagangan. "Banyak hal tidak
bisa dijelaskan karena orang harus mengalaminya sendiri," katanya, datar.
Keputusan Prama-yang mengantongi ijazah dari Universitas Lancaster, Inggris,
dan INSEAD, Prancis- untuk meninggalkan segala yang serba mengikat dalam dunia
kerja formal dan kemudian terbang bebas seperti elang tidak terjadi begitu
saja.
"Dalam kurun
waktu tak lebih dari tiga tahun, saya ditinggalkan oleh tiga orang yang sangat
saya cintai, yakni ibu dan bapak saya, lalu ibu mertua saya. Pada saat yang
bersamaan, saya mendapat cobaan sangat berat di kantor," kenangnya.
Perasaan kacau dan amarah terus bermunculan memenuhi hari-harinya.
"Semakin saya
marah dan memberontak, semakin saya tenggelam dalam ketidakberdayaan. Saya juga
tidak berhenti menyesali diri karena ayah saya sebenarnya ingin ketemu saya dua
minggu sebelum ia meninggal, tetapi tidak bisa."
Sampai pada satu
titik, ia tak mampu lagi berbuat apa pun, kecuali menerima semuanya sebagai
sesuatu yang harus ia terima dengan mengatakan "Ya" pada Sang
Pencipta. Mungkin itulah yang disebut sebagai "titik balik".
"Aneh, tiba-tiba jalannya seperti dibukakan," ujarnya.
Dari peristiwa
itu, Prama belajar memahami apa yang disebutnya sebagai keikhlasan, surrender.
"Ada banyak peristiwa di mana logika dan pengetahuan lumpuh saat
berhadapan dengan berbagai kerumitan hidup," tutur Prama. Rangkaian
peristiwa itu ia sebut sebagai jejak makna, mengiringi jejak-jejak sebelumnya,
yang ia temukan dari pengalaman masa kecilnya; dalam kehangatan pelukan sang
ibu, dalam keterbukaan dan kasih sang ayah. Cinta yang penuh dari jejak makna
masa kecilnya.
Banyak perubahan
terjadi dalam hidupnya setelah itu. Selain karier yang baru, ia memasuki dunia
sufi, yang disebutnya sebagai science of the inner; suatu pengetahuan yang
sangat dalam mengenai segala sesuatu dalam kehidupan, tetapi mengalami
pendangkalan ketika coba dijelasjelaskan secara logika.
Buku-buku bisnis
yang mengisi rak-rak buku di rumahnya lalu digeser ke belakang. Rak di depan
kemudian diisi oleh beragam buku, mulai dari Kahlil Gibran, fisikawan David
Bohn, pemikir Krishnamurti, tokoh postmodern Michel Foucaut, penemu Aikido
Morihei Ueshiba dan, tentu saja, Rumi, penyair sufi yang hidup di Persia Raya
pada tahun 1200-an.
Cinta dan
keikhlasan, yang diyakininya sebagai sumber kebahagiaan, menjadi tema dari
banyak uraiannya sebagai pembicara publik. Tiga kata itu sangat sederhana,
tetapi menjadi bersayap dan terbang entah ke mana sehingga sulit ditangkap
manusia-manusia yang sibuk mengejar kekuasaan dan uang; dan karenanya tak punya
kesadaran untuk menangkap keajaiban-keajaiban yang sebenarnya berlangsung
setiap saat dalam hidup.
Hampir semua
ceramah Prama berkisar di sekitar diri manusia dalam kaitannya dengan kehidupan
yang serba tergesa dan serba menuntut; kehidupan yang dikendalikan oleh
ambisi-ambisi manusia. Isi ceramahnya lantas seperti oase di padang gersang
kota besar, yang meski sejenak, terasa menyegarkan. Akan tetapi, untuk
mencernanya, orang harus "berhenti" sejenak.
Tidak mudah
menangkap kalimat-kalimatnya yang metaforik, khususnya bagi orang-orang sibuk
yang selalu ingin mendapatkan jawaban serba langsung. Petang itu, paling tidak,
ia banyak menggunakan metafor "bayangan" untuk menjelaskan tentang
kekhawatiran dan ketakutan manusia, tentang penerimaan diri, tentang emosi,
kemarahan, kebencian, keirihatian, kedengkian, keculasan, dan berbagai sifat
buruk yang dikatakannya sebagai "perampok" dalam diri manusia.
Gede Prama adalah
sosok yang unik karena banyaknya sisi menarik dari dirinya. Identitasnya yang
paling personal adalah sebagai anak bungsu dari 13 bersaudara, lahir di Bali
tanggal 2 Maret 1963; sebagai suami dari seorang istri dan sebagai ayah dari
tiga anak yang sudah beranjak dewasa. Prama menyebut dirinya sebagai
gelandangan intelektual, tak hanya karena tidak berafiliasi dengan universitas
mana pun, tetapi juga karena pikiran-pikirannya bebas dan liar, menggelandang
kemana-mana, tanpa batas, tanpa tembok, tanpa garis pemisah.
Banyak orang
berpendapat, keliaran inilah kekuatan yang membuat Prama didaulat oleh banyak
perusahaan terkemuka, seperti IBM, HP, Citibank, Astra, Caltex, dan
lain-lainnya, sebagai konsultan manajemen. Prama sendiri ingin mengabdikan
dirinya untuk mengembangkan apa yang ia sebut sebagai unschooled management.
Pengalaman hidup membuat Prama menjadi manusia yang amat sadar akan
keterbatasannya dan karena itu pula ia takut menghakimi orang lain. Ia juga
terus belajar merangkul dualisme kehidupan dengan kadar kemesraan yang sama.
Ucapan Rumi, This
world which is made of our love for emptiness, tampaknya ingin ia hayati lewat
proses meditasinya sepanjang hidup. "Kalau kita bisa mencapai nol, kita
akan menemukan dunia yang tak berhingga," ujarnya. Tetapi, bukankah tak
ada proses yang selesai dalam hidup kecuali fisik yang menua? Begitu Gede Prama
bergumam.... (Maria Hartiningsih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar