Minggu, 30 Oktober 2016

SAMPAH DAN ANAK KECIL



Waktu aku berangkat ke masjid untuk shalat dhuhur kulihat beberapa sampah bekas minuman gelas tergeletak di jalan. Aku hanya membiarkan. Dalam hati aku berkata, “Ini pasti ulah anak-anak kecil. Anak-anak kecil, kalau makan, bungkusnya dibuang sembarangan.”

Waktu aku pulang dari masjid, melihat sampah itu lagi mataku terasa sakit. Tetapi aku membiarkan sampah itu. Aku pikir itu bukan tugasku. Sampah itu tidak terletak di dekat rumah tempat aku tinggal.

Waktu pulang shalat ashar dari masjid aku berubah pikiran. Aku mengambil sebagian dari sampah itu dan kumasukkan dalam bak sampah di depan rumah.

Waktu pulang shalat maghrib dari masjid aku memungut sebagian lagi sampah. Lalu kumasukkan ke dalam bak sampah di depan rumah. Dalam hatiku, “Masih ada dua tersisa yang agak jauh.”

Waktu pulang shalat isya’ dari masjid aku memungut sampah terakhir, dua gelas plastik bekas minuman. Lalu saya masukkan ke dalam bak sampah di depan rumah. Menurutku tugasku sudah selesai. Aku berharap mataku tidak merasa sakit lagi karena melihat sampah di jalan.

Sampai di dalam rumah aku teringat dengan apa yang dilakukan bapakku dan ibuku dahulu. Lalu ada gagasan untuk menuliskannya di Facebook. Berbagi cerita untuk teman-teman.........

Bapak dan ibuku adalah seorang petani. Dahulu, ketika pulang dari sawah selalu membawa sesuatu yang ia temukan di jalan atau di sawah. Bisa jadi itu sebuah wadah ata, botol atau kayu bakar. Karena kebiasaan bapak dan ibuku ini, kami tidak pernah kehabisan stok kayu bakar. Selalu saja ada kayu bakar datang. Kami tidak perlu lagi membeli kayu bakar.

Ibuku berkata, “Daripada berserak tidak berguna. Lebih baik dibawa pulang untuk kayu bakar.” Ibuku selama ini memasak menggunakan kayu bakar.

Manusia itu punya tabiat untuk ikut-ikutan kebiasaan orang lain (pendahulu). Tanpa sadar aku hanya melakukan apa yang dilakukan ibuku atau bapakku. Aku mencoba menempatkan sesuatu (sampah) ke dalam tempat yang tepat (bak sampah).

Mengenai anak-anak kecil. Mereka itu menarik hati. Ketiadaan mereka seolah membuat dunia ini sepi. Ketika shalat di masjid, aku berharap bertemu dengan anak-anak kecil. Mereka adalah harapan dan penerus generasi Islam selanjutnya. Seolah aku ingin menyalami mereka satu persatu. Aku tahu mereka kadang berisik dan mengganggu. Tapi aku sadar, bahwa mereka masih kecil.

Mengingat akan hal itu, aku tidak marah kepada siapapun yang membuang sampah di jalan. Itu berarti mereka masih (seperti) anak kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar