Minggu, 30 Oktober 2016

SANDAL



Belakangan tiap kali aku mengambil sandal dari masjid, aku mendapati semua sandal para jamaah sudah tersusun rapi. Susunan itu searah dengan jamaah masjid yang akan pulang.  Pemilik sandal  tinggal memakainya tanpa perlu membalikan badan. 

Awalnya aku bertanya dalam hati, “Siapa gerangan orang yang melakukannya? Orang itu berpikir tentang kebaikan untuk orang lain.”

Sebenarnya aku anggap susunan sandal menghadap kemana itu tidaklah penting. Aku ingin hal yang mudah. Aku datang ke masjid, melepas sandal, dan shalat. Itulah yang penting. Aku tidak ingin mempermasalahkan tentang arah sandal mau  dikemanakan? Kalau sandal itu tidak disusun seperti itu, aku harus membalikkan badan. Aku sudah biasa melakukannya. Dan aku tidak keberatan. Apalagi di dalam Islam tidak ada aturan baku bagaimana cara menaruh sandal yang benar. Jadi menurutku, itu bukanlah hal yang penting-penting amat.

Suatu saat aku mengetahui siapa orang yang menyusun sandal-sandal itu. Namanya Pak Ferri. Orangnya sudah tua. Aku menilai, usianya di atas 50an tahun. Dia pernah bercerita bahwa ia berasal dari sebuah kota di Sulawesi. Bahkan dia pernah menegurku. Waktu aku baru datang ke masjid, aku diminta untuk memposisikan sandalku seperti yang ia maksud. 

Karena tidak enak, akhirnya aku menuruti permintaannya. Aku mengubah arah dari sandalku dari biasanya. Tetapi lain hari, aku tidak melakukannya. Aku tetap pada kebiasaanku yang lama. Aku meletakkan sandalku di pelataran masjid. Saat pulang aku harus membalikkan badanku. Seperti biasanya. 

Aku tidak melihat tingkat kepentingan, atau keuntungan dengan susunan sandal. Karena itu berbulan-bulan aku tidak menghiraukan sarannya. 

Namun suatu ketika aku berubah pikiran. Orang ini maksudnya juga baik. Ia ingin sandalnya para jamaah masjid disusun yang rapi. Karena itu sesekali aku menaruh sandalku seperti yang ia maksudkan. Tujuanku untuk menyenangkan Pak Ferry itu, bahwa nasehatnya sudah aku lakukan. Dengan konskuensi aku harus membuat tambahan gerakan baru dari kebiasaanku.  Aku harus membalikkan badan di awal sebelum masuk masjid.

Aku juga menganggap ini sebagai toleransi antar sesama. Aku tidak ingin terjadi konflik dengannya hanya karena urusan kecil--- “sandal” seharga Rp20ribu. Kami hampir bertemu setiap hari. Meski kami jarang bicara. Tidak tahu kenapa. Rasanya sulit untuk menciptakan kesempatan untuk bicara.

Belakangan aku menemukan beberapa hal positif tentang susunan sandal itu seharusnya menghadap kemana. Dalam jumlah jamaah yang banyak itu sangat penting. Para jamaah yang keluar dari masjid biasanya bersamaan. Karena itu besar kemungkinan terjadi kekacauan. Masing-masing jamaah berlomba ingin segera menemukan sandalnya. 

Tetapi itu menjadi tidak begitu penting jika jumlah jamaahnya hanya beberapa orang. Mungkin pentingnya hanya susunan sandal itu terlihat rapi. Untuk keindahan. Enak dipandang. Tetapi siapa orang yang mau melihat pemandangan ‘susunan sandal yang rapi’? Aku mengira tidak ada orang yang mau menikmati pemandangan itu.

Aku menuliskan cerita ‘SANDAL’ ini untuk menghormati Pak Ferri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar